drgyrbsytrhytr
Jajal maneh
sdrytrbudrbthdryt
Jajal
jlngldfhesbrhydfbg
Tesss
Kabupaten
Kudus merupakan salah satu kabupaten kecil di Jawa Tengah, meskipun begitu,
Kudus terkenal dengan daerah yang kaya kebudayaan, sejarah, maupun sumber daya
alamnya. Kabupaten yang terletak di jantung provinsi Jawa Tengah mempunyai
cerita sejarah kebudayaan yang panjang, yakni dengan adanya makam Sunan Kudus.
Kekayaan alamnya pun banyak, terutama gunung dan persawahan. BPS pada tahun
2016 merilis data, dari 42.516 Ha wilayah kabupaten Kudus, 20.590 Ha (48,43%)
merupakan lahan yang digunakan untuk sawah dan 9.791 Ha (23,03%) lahan
pertanian non sawah. Karena kondisi wilayah yang seperti itu, pemerintah daerah
memasukkan sektor pertanian sebagai salah satu urusan pemerintahan pilihan dari
kabupaten Kudus.
Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) kabupaten Kudus mempunyai visi “Kudus
Yang Relegius, Maju, dan Adil”. Dari kata “maju” tersebut kemudian diturunkan
ke dalam misi “mewujudkan masyarakat yang dinamis, modern, berdaya saing sesuai
dengan perkembangan global” yang salah satu caranya adalah melalui peningkatan
daya saing pertanian guna mendukung ketahanan pangan. Misi tersebut kemudian
masuk dalam setiap tahapan dan skala perioritas RPJPD. Dari tahap kesatu dengan
agenda “revitalisasi pertanian dan perubahan pola pikir petani yang lebih responsif
terhadap perubahan pasar” hingga pada tahap keempat (tahun 2020-2025) dengan
agenda “pemantapan agribisnis, agroindustri dan ketahanan pangan serta nilai
tukar petani.”
Tulisan 4
Pada
Milenium ketiga Masehi, Islam tetap menjadi agama mayoritas di negeri Indonesia
ini, dan mungkin akan tetap demikian hingga akhir dunia ini. Indonesia dengan
jumlah penduduk terbanyak keempat di dunia, menjadikan Indonesia sebagai negara
dengan penduduk beragama Islam terbanyak yang ada di dunia.
Sebagaimana
hasil tidak akan jauh dari usaha, proses Islamisasi negeri yang dulunya dikenal
dengan sebutan Nusantara ini juga sangatlah menakjubkan. Proses ini merupakan satu
fase yang tak terpisahkan dalam menuju sebuah peradaban Indonesia modern.
Proses ini sangat luar biasa, mengingat proses perluasan Islam di wilayah ini
terjadi tatakala pusat peradaban Islam di Timur Tengah sedang berada dalam
kemunduran kekuatan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Proses ini berlangsung
antara abad ke-13 sampai dengan abad ke-16.
Di
dalam buku Tradisi Pesantren, Zamakhsyari Dlofir mencatat bahwa Pesantren
merupakan anak panah dari proses penyebaran Islam ke seluruh pelosok negeri.
Pesantren lah yang menentukan corak dan watak dari kesultanan-kesultanan yang
ada di Indonesia. Di lembaga pesantren itu pula ditemukan manuskrip-manuskrip
tentang pengajaran Islam di Asia Tenggara. Sehingga untuk dapat mengetahui
sejarah Islamisasi di wilayah Nusantara, haruslah memulainya dengan mempelajari
lembaga-lembaga pesantren.
Barus,
suatu daerah di Sumatera Utara, disebut-sebut telah berkembang menjadi daerah
Kosmopolitan dari abad ke-10 hingga abad ke-15. Hal ini ditandai dengan
ditemukannya beberapa inskripsi yang berbahasa Arab dan sebagian berbahasa
Parsi. Pada abad itu, Islam berkembang menjadi kekuatan besar yang menakjubkan
dan menjadikan kawasan Indonesia menjadi kawasan yang paling dinamis. Hal ini
dicatat oleh Anthony Reid dalam bukunya Southeast Asia in The Age of
Commerce. Barus dikenal sebagai kawasan pengekspor minyak wangi yang
disukai oleh para bangsawan dan pangeran Arab, Persia, dan Cina, bahkan
bangsawan Cina telah menyukai minyak wangi Barus sejak abad ke-6.
Karena
pengguna minyak wangi Barus adalah para pangeran dan bangsawan dari negeri yang
paling maju dan dinamis, maka harga dari minyak wangi Barus dapat dipastikan
sangat mahal harganya. Ada sebuah tradisi yang berkembang di dunia Muslim,
bahwa para pedagang muslim menyediakan amal jariyyah bagi ulama yang
bersedia menemani para pedagang untuk tinggal dan mengembangkan aktivitas serta
pengajaran pendidikan Islam di daerah asalnya, yakni di Barus.
Para
ulama’ atau syaikh yang mengiringi ke Barus diyakini memiliki keilmuwan yang
tinggi. Pasalnya dalam 200 tahun kemudian, di wilayah ini sudah dapat
menumbuhkan kesultanan Lamreh menjelang tahun 1200. Di kekuasaan kesultanan
inilah, kemudian oleh Ricklefs dijadikan sebagai permulaan berkembangnya
kesultanan Islam, yakni mulai pada tahun 1200. Disinilah, di Barus, menjadi
bagian terpenting dari studi lembaga pendidikan Islam di Indonesia yang dalam
sejarahnya akan melahirkan berbagai tokoh dan ulama yang dapat mengubah bangsa
Indonesia dari beragama Budha Hindlu menjadi bangsa terbesar di dunia yang
memeluk agama Islam.
Pemilihan
Islam sebagai agama bagi rakyat di Nusantara, sebenarnya bermula dari rasa
kekecewaan atas melemahnya imperium Majapahit tatkala ditinggalkan oleh
Mahapatih Gadjah Mada pada tahun 1356. Dan yang lebih menakjubkan adalah proses
pemilihan ini melalui hati sanubari dan pikiran bangsa Indonesia, tanpa adanya
paksaan dari luar dan kekuatan dari militer yang menyertai masuknya Islam ke
Nusantara.
Proses
pemilihan ini pada tahap selanjutnya membentuk lembaga pendidikan Islam di
berbagai daerah. Lembaga pendidikan ini melahirkan sejumlah ulama yang tidak
hanya diakui oleh bangsa Indonesia sendiri, melainkan telah mendapat pengakuan
dunia internasional dengan bukti telah menjadi guru besar di Makkah. Makkah
dalam periode itu masih menjadi rujukan utama dalam keilmuwan dunia Islam. Hamzah
Fansuri adalah salah satu contoh ulama asli Indonesia yang ketinggian keilmuwannya telah mendapat
pengakuan di Makkah. Di dalam perkuburan Bab al-Ma’la, komplek perkuburan
keluarga dan sahabat Nabi, ditemukan inskripsi di Batu Nisan Hamzah Fansuri. Di
batu nisan tersebut, disebutkan bahwa Hamzah Fansuri diakui kebesarannya.
Sumber : Zamakhsyari Dhofier. Tradisi Pesantren. Jakarta : LP3ES, 2015.
Tulisan 3
Dalam
sebuah Hadist dikisahkan bahwa suatu tempo Nabi shallallâhu ‘alaihi
wasallammendatangi pintu masjid, di situ beliau melihat setan berada di
sisi pintu masjid. Kemudian Nabi SAW bertanya, "Wahai Iblis apa yang
sedang kamu lakukan di sini?" Maka Setan itu menjawab, "Saya hendak
masuk masjid dan akan merusak shalat orang yang sedang shalat ini,
tetapi saya takut pada seorang lelaki yang tengah tidur ini."
Lalu
Nabi SAW berkata, "Wahai Iblis, kenapa kamu bukannya takut pada orang
yang sedang shalat, padahal dia dalam keadaan ibadah dan bermunajat pada
Tuhannya, dan justru takut pada orang yang sedang tidur, padahal ia
dalam posisi tidak sadar?" Iblis pun menjawab, "Orang yang sedang shalat
ini bodoh, mengganggu shalatnya begitu mudah. Akan tetapi orang yang
sedang tidur ini orang alim (pandai)."
Dari
Ibnu Abbas radliyallâhu ‘anh, Nabi SAW bersabda, "Nabi Sulaiman pernah
diberi pilihan antara memilih ilmu dan kekuasaan, lalu beliau memilih
ilmu. Selanjutnya, Nabi Sulaiman diberi ilmu sekaligus kekuasaan.
Bersumber
dari Abi Hurairoh radliyallâhu ‘anh, Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi
wasallambersabda, "Barangsiapa pergi menuntut ilmu maka Allah akan
menunjukkannya jalan menuju surga. Sesungguhnya orang alim senantiasa
dimintakan ampunan untuknya oleh makhluk yang berada di langit maupun di
bumi, hingga dimintakan ampun oleh ikan-ikan di laut. Sesungguhnya
ulama adalah pewaris para Nabi."
Hadits
di atas menyiratkan betapa agama Islam begitu memuliakan, mengutamakan,
dan menghargai orang yang berilmu pengetahuan. Bahkan melebihi
keutamaanya orang yang ahli ibadah tapi bodoh. Menjadi jelas pula bahwa
dalam agama Islam, menuntut ilmu dan mengembangkan budaya ilmiah itu
termasuk bagian dari ibadah, juga merupakan tuntutan agama. Jadi tidak
semata desakan kebutuhan zaman atau tuntutan dari institusi negara an
sich. Itulah kunci mengapa dahulu pada masa kegemilangan peradaban
Islam, banyak lahir ilmuan-ilmuan besar Muslim yang sumbangsihnya telah
diakui dunia dalam banyak cabang keilmuan. Mereka menekuni disiplin
keilmuan atas motif ajaran Islam, bukan tuntutan negara (daulah) waktu
itu.
"Samakah antara orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" (QS. Al-zumar: 9)"
Begitu
peduli dan perhatiannya agama Islam akan pentingnya ilmu pengetahuan,
banyak pula ayat Al-Qur'an memberi dorongan dan motivasi agar seseorang
mencintai ilmu, di antaranya ayat itu, "Samakah antara orang-orang yang
mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" (QS. Al-zumar: 9).
Tak hanya itu, Al-Qur'an sendiri mengajarkan umat manusia berdoa kepada
Tuhannya agar senantiasa ditambahkan ilmu pengetahuan, "Dan katakanlah,
Ya Tuhanku, tambahkanlah pengetahuan kepadaku".
Di
ayat lain Allah juga berfirman, "Allah akan meninggikan orang-orang
beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan
beberapa derajat" (Al-Mujaadalah: 11).
Berjibunnya
apresiasi, penghargaan dan dorongan yang bersumber baik dari al-Qur'an
ataupun Sunnah Nabi sebagaimana di atas seyogianya membuat kaum muslim
pada saat ini khususnya yang masih berstatus mahasiswa, pelajar dan
santri bisa lebih giat dan tekun lagi dalam mempelajari suatu ilmu dan
mengembangkan tradisi ilmiah. Pun menyadarkan bahwa menurut pandangan
Islam kegiatan dan aktivitas belajar dan menuntut ilmu baik di lembaga
pendidikan formal atau nonformal yang ditempuh oleh seorang Muslim
orientasinya tidak melulu mengejar ijazah, gelar dan jabatan tertentu,
melainkan perlu diinsyafi pula bahwa belajar itu merupakan kewajiban
tiap muslim dalam upaya mentaati perintah agama. Wallahu a'lam
M Haromain, pengajar di Pondok Pesantren Nurun ala Nur Wonosobo; penulis lepas, bergiat di Forum Intlektual Santri Temanggung.
sumber : NU Online
Tulisan Tes 2
Setiap institusi agama ataupun yang lain,
memberikan kedudukan sangat penting bagi ilmu pengetahuan. Dalam Islam, ilmu
pengetahuan menduduki posisi utama, karena ia adalah sarana yang paling tepat
untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan mencapai kebahagiaan dunia akhirat.
<>Dalam kaitan ini, Rasulullah bersabda: "Barang
siapa menghendaki kehidupan dunia, maka ia harus berilmu, begitu juga apabila
ia menghendaki kehidupan akhirat. Apalagi jika ia menghendaki keduanya (dunia
dan akhirat)".
Yang dimaksud science di
sini adalah ilmu pengetahuan dalam pengertian yang luas, bukan dalam batasan
satu nilai atau disiplin tertentu. Secara kontinyu ilmu pengetahuan berkembang
dengan pesat dan sangat dipengaruhi oleh aspek kehidupan yang luas, mulai dari
ekonomi, sosial, budaya dan juga apresiasi intelektual masyarakat. Akan tetapi
di balik itu, proses perkembangan tersebut sangat bergantung pada lembaga
pendidikan.
Pesantren
sebagai lembaga pendidikan dengan totalitas kepribadiannya yang khas, selalu
memberikan kebebasan untuk menentukan pola dinamis kebijaksanaan pendidikannya.
Sehingga setiap tawaran pengembangan, baik benupa transfer dari luar
(non-pesantren) mau pun atas prakarsa sendiri, tentunya akan melalui sektor
pertimbangan dari dalam pesantren sendiri yaitu pertimbangan tata nilai yang
telah ada dan berlaku di pesantren selama ini.
Istilah
"pesantren" mulai dikenal sejak pertama kali lembaga itu didirikan.
Untuk mengetahui sejarah pesantren, ada beberapa pendapat yang umum berlaku. Di
antaranya disebutkan, pertama kali pesantren didirikan oleh Sunan Malik Ibrahim
di Gresik pada awal abad ke-17 (tahun 1619 M).
Dalam
perjalanannya, pesantren begitu mengakar di tengah-tengah masyarakat dengan
prestasi yang sangat kentara, yaitu munculnya para alumni pesantren yang
mendapat legitimasi dari masyarakat sebagai ulama atau kiai yang tangguh dan
mampu mengembangkan dirinya di bidang keilmuan agama Islam, dibarengi dengan
kepekaan yang tinggi terhadap masalah-masalah sosial dan lingkungan. Hal ini
berangkat dari titik tekan pesantren sebagai lembaga tafaqquh
fiddin yang senantiasa dipertahankan dan kemauan membuka diri
dari segala perubahan dan perkembangan zaman.
Akan tetapi,
satu dan lain hal yang perlu dimengerti adalah keteguhan sikap para pendiri
pesantren yang tidak mau bekerja sama dengan pemerintah kolonial Belanda pada
waktu dulu, sehingga segala bentuk kegiatan pendidikan pesantren tidak
diproyeksikan untuk memproduksi tenaga kerja. Maka, ijasah-ijasah formal pun
pada awalnya sama sekali tidak dikenal oleh kalangan pesantren. Pesantren hanya
terfokus pada pandangan dasar thalab
al-'ilmi li wajhi Allah. Prinsip demikian ini masih dapat ditemui
di beberapa pesantren sampai sekarang.
Sistem
pendidikan pesantren yang ditempuh selama ini memang menunjukkan sifat dan
bentuk yang lain dari pola pendidikan nasional. Akan tetapi hal ini tidaklah
bisa diartikan sebagai sikap isolatif, apalagi eksklusif pesantren terhadap
komunitas yang lebih luas. Pesantren pada dasarnya memiliki sikap integratif
yang partisipatif terhadap pendidikan nasional.
Pendidikan
nasional yang tertuang dalam GBHN bertujuan meningkatkan ketakwaan terhadap
Tuhan YME, kecerdasan, keterampilan, budi pekerti luhur dan akhlak yang mulia.
Dari sinilah, meskipun pola penyelenggaraan pendidikan pesantren berbeda dengan
pendidikan nasional, akan tetapi ia tetap merupakan suatu lembaga pendidikan
yang mendukung dan menyokong tercapainya tujuan pendidikan nasional. Secara
institusional dan melalui pranata yang khas, pesantren merangkum upaya
pengembangan ilmu pengetahuan yang sesuai dengan dasar pendidikannya.
Pola dasar
pendidikan pesantren terletak pada relevansinya dengan segala aspek kehidupan.
Dalam hal ini, pola dasar tersebut merupakan cerminan untuk mencetak santrinya
menjadi insan yang shalih dan akram. Shalih, berarti manusia yang secara
potensial mampu berperan aktif, berguna dan terampil dalam kaitannya dengan
kehidupan sesama makhluk. Filosofi "shalih" diambil dari surat
Al-Anbiya' 105:
“Sesungguhnya
bumi ini diwariskan kepada orang-orang yang shalih”.
Sehingga untuk
melestarikan bumi seisinya beserta seluruh tatanan kehidupannya, pesantren coba
membekali santrinya dengan ilmu pengetahuan yang punya implikasi sosial
menyeluruh dan mendasar. Seperti: ilmu pertanian, ilmu politik, teknologi,
perindustrian, ilmu kebudayaan dan lain sebagainya. Menurut kalangan pesantren,
pengkajian ilmu-ilmu semacam itu bersifat kolegial (fardlu
kifayah).
Sementara
"akram" merupakan pencapaian kelebihan dalam kaitan manusia sebagai
makhluk terhadap khaliqnya, untuk mencapai kebahagian di akhirat, seperti
firman Allah dalam Al-Qur'an:
“Sesungguhnya
yang paling mulia di antara kamu seklian di sisi Allah adalah orang yang paling
bertakwa.”
Dalam kaitan
ini, pesantren secara institusional telah menekankan pendalaman terhadap ilmu
pengetahuan keagamaan (tafaqquh fiddin).
Berangkat dari
sikap pendirinya pada sebelum masa kemerdekaan yang sama sekali tidak mau
bekerja sama dengan pemerintah kolonial Belanda, maka pesantren praktis menolak
campur tangan pemerintah. Akibatnya kesan tertutup dan eksklusif begitu lekat
di tubuh pesantren. Akan tetapi setelah masa kemerdekaan, pesantren mulai
membuka diri seluas-luasnya kepada ‘dunia luar’ dengan digalangnya banyak
kerjasama antara pesantren dan pemerintah atau dengan lembaga-lembaga lain,
seperti LSM-LSM di negeri ini.
Macam dan
bentuk pesantren yang amat banyak, sebanyak kiai yang mempunyai otoritas
tertinggi atas pesantren, adalah hal yang selama ini menjadi sorotan para ahli
dan pengamat masalah pesantren. Namun justru dari keberagaman bentuk pesantren
inilah, akan dapat dicapai insan kamil. Adalah mustahil, bila kesempurnaan
tersebut dicapai dengan bentuk pendidikan yang hanya satu macam.
Pesantren
dengan tujuan utamanya mencetak insan yang shalih dan akram,
merupakan lembaga pendidikan yang mempunyai implikasi dunia dan akhirat. Tidak
hanya shalih saja, akan tetapi juga akram. Keduanya haruslah tidak terpisahkan,
sehingga di samping mendalami ilmu-ilmu keagamaan, pesantren juga harus mulai
mendalami ilmu pengetahuan umum. Apalagi pesantren telah melebarkan sayap
dengan membentuk lembaga madrasah sebagai lembaga pendidikan klasikal dan
perguruan tinggi yang kian hari semakin ditingkatkan mutu manajerialnya dan
proses belajar mengajarnya.
Pesantren yang
lahir dan berbasis di pedesaan, di dalamnya terbentuk suatu miniatur kehidupan
masyarakat luas. Ia adalah sebuah lembaga yang memiliki kemnungkinan dan
kesempatan besar membentuk kader berwawasan sosial dan peka terhadap
lingkungannya, di samping memupuk ketakwaan terhadap Allah SWT.
Prospek
pengembangan ilmu pengetahuan merupakan tanggung jawab semua kalangan lembaga
pendidikan, tanpa memandang pada dasar pendidikan yang dianut. Hanya saja,
skala prioritas penekanan terhadap ilmu pengetahuan yang dikembangkan,
berlainan antara satu lembaga pendidikan dengan yang lain. Sementara pesantren
lebih menekankan pada pengetahuan yang sesuai dengan dasar pendidikannya,
sesuai dengan nafas dan tuntutan Islam.
Untuk lebih
mendukung adanya pengembangan ilmu pengetahuan secara pesat, pesantren masih saja
memperhatikan sistem pendidikannya sendiri. Dalam hal ini, transfer ilmu
pengetahuan dan teknologi akan terus dilaksanakan, sejauh tetap menyelamatkan
nilai-niilai dan identitas pesantren, sehingga tidak hanyut oleh
perubahan-penubahan. Dalam kaitan ini, pesantren memiliki prinsip:
“Memelihara
sistematika dan metodologi lama yang masih relevan dan mengambil serta
mengembangkan cara baru yang lebih baik".
Dengan
demikian pesantren tidak akan pernah terkesan sebagai lembaga pendidikan
konvensional yang menutup diri dan mengisolasi dari perkembangan kehidupan.
*) Diambil
dari KH MA Sahal Mahfudh, Nuansa
Fiqih Sosial, 2004 (Yogyakarta: LKiS). Tulisan ini pernah disampaikan dalam
Dinamika Islam RRI Stasion Regional I Semarang, Sahur ke-18 Ramadlan 1412 H.
Judul asli Pesantren Membentuk Generasi Iptek dan Bertakwa.
Sumber : NU Online